AKU MATI SAJA ( sebuah cerpen )
By.
Dwi Andari
"aku
mati saja..." kata Senja dingin tanpa ekspresi, bahkan tanpa dipikir.
kata-kata itu terucap begitu saja lancar keluar tanpa diminta bagai air bah
yang mengalir menerjang dengan ketenangannya yang luarbiasa meski
dikedalamannya menyimpan gemuruh paling debur.
Untuk
beberapa saat Riko tampak terkejut lalu berusaha tutupi gugup, teringat
beberapa waktu lalu ketika ia mendapati Senja tengah berusaha memutus urat nadinya
dengan menyayatkan silet dipergelangan tangannya.
"sayang,
apa kamu tak memiliki agama?..." kata Riko dengan ketus dan gusar.
Senja
menjawab dengan tatap kosong dan..
" apa abang punya?.. "
“katakan
padaku, apa abang beragama?..”
Riko
hanya tertunduk dalam dan semakin dalam, lalu hanya hening yang ada diantara mereka. Keduanya terdiam
dalam pikiran, ingatan juga anganan masing-masing.
Masih
membekas diingatan Senja ketika suatu sore dibulan April seorang wanita
menelponnya dan dengan penuh derai suara tangis menceritakan bagaimana untuk
ketiga kalinya Riko meminta dia menggugurkan kandungannya, buah hati mereka. Dan
diakhir telponnya wanita yang mengaku bernama Yuni itu meminta Senja untuk
melepas Riko karena hanya dengan cara itulah Riko akan mengawininya dan dia
bisa mempertahankan kandungannya, buah cinta mereka.
Saat
itu Senja tak mampu berkata-kata, dia bahkan tidak tahu harus percaya ataupun
tidak pada penelpon gelap ini, hanya saja entah kenapa saat itu Senja tak mampu
menahan tetesan airmata yang terus mengalir bersama kesakitan rasa yang tibatiba
menikam hatinya.
Seiring
jalannya waktu, Yuni sering sekali sms, email ataupun menelponnya mengabarkan
ini-itu seputar kehamilan dan hubungannya dengan Riko, dari mulai menggunakan
kata-kata sopan sampai keluar kata-kata preman yang acap kali diakhiri ancaman,
tapi Senja tak ambil pusing karena Riko dengan tegas mengatakan itu semua
fitnah. Ada seseorang dari salah satu rekan bisnisnya yang ingin menjatuhkan
dia.
Meski
ada yang mengganjal dan terus terganggu dengan teror Yuni namun Senja percaya
pada Riko, kekasih dan suami yang dicintainya setengah mati ini.
“aku
mengenal baik suamiku…” begitu selalu bisiknya pada ragu yang berulang-ulang
datang menggaung dihatinya.
Semuanya
berakhir diawal Juni yang gerah, saat Senja mendapat telpon dari Riko dan
ketika diangkat yang bicara dari sebrang sana adalah Yuni. Dengan sinisnya dia
berkata “bagaimana Nja?..masihkah tidak percaya padaku?.. masih mengangap bahwa
aku main-main dengan masalah sebesar ini?..kamu wanita Nja,kamu pasti bisa merasakan
apa yang kurasakan!”
Senja
tak mampu bicara, Riko ijin seminggu keluar kota untuk urusan bisnis tapi jam
tiga dinihari ada bersama Yuni. Lalu dia mulai limbung dan diujung telepon sana
Yuni kembali memintanya untuk melepaskan Riko dengan penekanan bahwa usia
kandungannya kini sudah empat bulan dan dia tak mau membunuh buah cintanya
meski Riko memberinya seratus juta bahkan katanya lagi meski Riko membunuhnya
sekalipun.
Kembali
Yuni menegaskan bahwa Riko tak bisa melepaskannya dan selama Senja Riko tak
berpisah maka mereka tak mungkin bersama dalam ikatan keluarga meski mereka
saling cinta. Karenanya Yuni meminta Senja untuk melepas Riko, demi anak mereka
dan menambahnya pula dengan embel-embel jika dengan Senja, Riko tak mungkin
memiliki anak.
Senja
bungkam mematung bagai arca yang perlahan hancur digodam sejuta martil baja.
Tidak menutup telpon pun tidak bersuara bahkan isaknya bisu tertelan kecewa.
Sampai ada saat dimana Riko mengambil alih telepon beberapa kali menarik nafas dalam-dalam
sambil berbisik “ Nja..sayang, maafkan abang” lalu klik telpon ditutup.
Entah
selanjutnya apa yang terjadi diseberang sana...
Lima
sepuluh dualima bahkan dua jam berlalu Senja dan Riko tetap duduk mematung
dibangku mobilnya yang sengaja diparkir disebuah taman kota untuk membicarakan
permasalahan mereka. Sepanjang diam Riko terus menggenggam tangan Senja dan
sesekali menciumnya mencoba mengungkapkan sesalnya atas apa yang terjadi namun
Senja tak bereaksi.
Setelah
lama dan tak jua ada solusi kerena masing-masing bungkam maka akhirnya Riko menyalakan
mesin mobil dan perlahan melajukan kendaraan berjalan menuju arah pulang.
mereka
masih saja ditikam hening sampai akhirnya Riko menghela nafas panjang sebelum angkat
bicara
"
tidak sayang, kamu tidak boleh mati Nja. aku yang salah bukan kamu "
“kalau
abang yang salah kenapa aku yang selalu menerima hukuman?..” jawab Senja datar
"
kalau begitu, abang saja yang mati..." lanjutnya pelan menusuk.
mobil
merem mendadak dan Riko menatap Senja tajam sangat, ya lelaki yang dicintai
setengah mati oleh Senja Maharani ini
pasti sama seperti Senja tak mengira jawaban yang meluncur dari bibir
mungilnya akan sesadis itu. Padahal selama ini Riko tahu betapa Senja istrinya
ini memiliki ketabahan dan hati yang lembut luar biasa, entah sudah berapa kali
Riko menyakitinya tapi selalu dimaafkan dan Senja tetap menyayangi juga tak
berkurang sedikitpun cintainya pada Riko.
"
aku.. " kata Senja sebelum sempat Riko bicara
"
aku hanya tak ingin kita terpisah karena penghianatan, cinta kita bukan cinta
biasa dan abang tahu itu. Mahal sekali
harga yang telah kita bayar untuk bisa bersama seperti sekarang tapi abang acap
kali menodainya. Sungguh aku lelah bang, aku lelah terus mencoba mengerti abang,
aku lelah melihatmu terus melukai cinta kita… “
Riko
kembali menjalankan mobilnya perlahan
sambil menyenderkan kepalanya dibangku mobil, tak habis sesalnya pada kelemahan
diri yang mudah tergoda wanita dan selalu saja berujung menyakiti Senja.
“aku
lebih memilih kita terpisah dipisah oleh kematian, aku tak lagi ingin memberimu
maaf untuk kemudian kembali kau sakiti” kali ini Riko menarik nafas dalamdalam
sambil kembali menggenggam tangan kanan Senja dengan kerasnya.
“
jadi jika abang tak ingin aku yang mati, ...maka abanglah saja yang mati karena
kesalahan abang itu. Aku sungguh tak bisa membiarkan orang yang kucinta
berkalikali membunuh mati rasaku"
Riko
hanya tertegun dan menjalankan laju mobilnya kembali, dia sungguh tak pernah
berniat meninggalkan Senja. Dia tahu betul sebesar apa cintanya untuk Senja dan
seberapa besar pengorbanan Senja untuk kebersamaan mereka. Cinta yang
terlarang, cinta yang ditentang begitu banyak aturan…dunia juga akhirat.
Dan
dia sungguh mengerti mengapa mereka tidak memiliki seorang anakpun, karena
memang begitulah komitmen mereka saat akan menikah dulu. Konyol memang tapi perbedaan
keyakinan akhirnya membuat mereka bersepakat untuk tidak memiliki anak. Cukup
kita saja yang menanggung dosa sesuai kepercayaan masing-masing karena cinta
ini. begitu alasan kesepakatan yang mereka buat dulu.
Rasanya
ingin sekali Riko kembali memberi penjelasan tentang siapa Yuni, wanita yang
telah menjebaknya hingga dia beberapa kali terpaksa menyetujui untuk
menggugurkan kandungan Yuni atas saran Yuni sendiri dengan meminta beberapa
puluh juta kepadanya dengan alasan sebagai biaya aborsi. Yang terakhir ini
ternyata Yuni menginginkan lebih dari sekedar uang maka ia sengaja menteror
Senja, agar mereka bercerai dan Yuni menjadi istrinya. Tapi Riko tahu itu akan
sia-sia, hati Senja sudah sedemikian hancur pun lagi manamungkin dia percaya ada
seorang wanita yang tega dengan sengaja hamil dan menggugurkan anaknya demi
sejumlah uang, meski ya Riko memiliki bukti transfer dan lain-lainnya itu.
Perlahan
lalu cepat dan semakin cepat Riko mengemudikan mobilnya membelah jalan raya
disebelas lebih tigapuluh malam, entah apa yang berkecamuk dihatinya sekarang.
Hanya
suara Senja tadi yang terus bergaung ditelinganya, suara istrinya yang begitu
pelan namun diucapkan sepenuh rasa.
“aku
mati saja…”
“abang,
aku mati saja…”
Tanpa
disadarinya setetes air mata luruh ketika kembali dia dibawa ingatannya kemasa
lalu, hari dimana mereka berikrar setia mencinta dan menjalin rumah tangga
sampai tua, sampai ajal memisahkan. Hari dimana Senja memutuskan memilih
percaya pada cintanya meski harus dikucilkan oleh keluarga besarnya.
Pun
ingatan membawanya kebeberapa hari lalu, sehari lewat setelah insiden telepon
dini hari itu, saat akhirnya ia mengakui dan membenarkan ucapan Yuni pada
Senja. Juga malam berikutnya ketika ia menemukan Senja
dengan tatapan kosong terus mencoba merobek pergelangan tangannya sendiri. Tak
ada kesakitan diwajah dinginnya meski tetes-tetes darah mengucur lambat kelantai.
Untunglah ia tidak terlambat pulang hari itu hingga bisa menghentikan aksi gila
Senja. Sementara diranjang ia menemukan sebuah diary berwarna jingga yang pada
lembar pertama tertulis
“
Tuhan, salahkah aku mencintainya?.. “
dan
dilembar berikutnya tertulis;
“Tuhan,
sesalah apa aku memeluk cinta ini?..” selebihnya hanya kertas kosong meski
diary ini bukanlah diary baru dan dia pernah sekilas melihatnya dua tahun lalu
saat dirumah sakit. Ketika Senja baru saja kehilangan bayinya diusia kandungan
3 bulan..
Ya, mereka memang pernah bersepakat untuk tidak memiliki anak namun Tuhan berkehendak lain dan Senja hamil meski akhirnya harus kehilangan bayinya bahkan dokter mengatakan rahim Senja terlalu lemah untuk hamil lagi. Yang menakutkan Riko saat itu adalah tak ada air mata diwajah wanita yang dicintainya ini, dan wajahnya sekosong dan sedingin hari ini. Wajah yang menyimpan banyak tanya dan kesakitannya sendiri.
Ya, mereka memang pernah bersepakat untuk tidak memiliki anak namun Tuhan berkehendak lain dan Senja hamil meski akhirnya harus kehilangan bayinya bahkan dokter mengatakan rahim Senja terlalu lemah untuk hamil lagi. Yang menakutkan Riko saat itu adalah tak ada air mata diwajah wanita yang dicintainya ini, dan wajahnya sekosong dan sedingin hari ini. Wajah yang menyimpan banyak tanya dan kesakitannya sendiri.
Riko
mengutuki kesalahannya dan mulai tak bisa memaafkan diri sendiri atas apa yang
selama ini dengan sadar dilakukannya dibelakang Senja, istri yang
sungguh-sungguh setia dan selalu mencintainya sepenuh jiwa. Istri yang telah
banyak berkorban untuknya, istri yang begitu dicintai namun acapkali menderita
karenanya.
"
ya, akan lebih baik jika kita mati bersama..." lirih kembali Senja
berbisik dalam hati lalu mulai memejamkan matanya.
Tak
ada ketakutan diwajah lelahnya meski beberapa kali mobil nyaris menabrak
trotoal jalan dan tetap melaju dengan kecepatan kencang.
Dak,
September 2013